TINJAUAN KEBAYA DAN MODE |
TINJAUAN KEBAYA DAN MODE
pola kebaya kutubaru - 2.1. Busana
2.1.1. Fungsi Busana
Salah satu kebutuhan kita yang tidak kalah pentingnya dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya adalah sandang, tanpa sandang atau lebih populer dengan istilah busana, kita tidak akan diterima oleh masyarakat lingkungan kita. Pada masa lalu fungsi fisik dari pakaian lebih diutamakan, tetapi sekarang ini fungsi nonfisik dari pakaian juga tak bisa diabaikan begitu saja. Pakaian tidak hanya mampu melindungi tubuh dari suhu dan cuaca, melindungi tubuh dari gigitan serangga, dan lain-lain. Pakaian pun ternyata mampu memenuhi kebutuhan seseorang akan akan segi-segi psikologis, sosial, emosi dan estetik.(fotocopy kuliah: Drs Herman Yusuf).
Dalam akhir abad XX ini sandang atau busana tidak lagi sekedar penutup tubuh dan pengatur suhu badan, ternyata lebih dari itu tidaklah terlalu berlebihan bila busana yang kita kenakan juga akan merupakan sarana untuk menyampaikan misi atau pesan kepada orang lain. la memang berguna sebagai sarana komunikasi non verbal. Pakaian merupakan bMlasa nonferbal yang mampu menyatakan status sosial, pekerjaan, peran, rasa percaya diri, kepandaian, kepribadian, dan sebagainya.(Fotocopy kuliah Drs. Herman Yusuf)
Misi atau pesan tadi terpancar dari kepribadian yang tersirat dari cara kita berbusana, oleh karena itu busana dapat membuat 'image' atau kesan pada waktu Icita menampilkannya. Dan dapat mengundang reaksi orang yang melihatnya. Adalah tugas kita untuk memakai dan menggunakan kesan tadi sebagai sarana penyampaian kepribadian kita, darimana anda berasal, berapa usia yang ingin anda tampilkan, jenis kelamin apa yang ingin anda akui, jabatan atau sebagai apa keberadaan anda di masyarakat dan lain sebagainya yang anda ingin garis bawahi melalui Penampilan Busana anda.
2.1.2. Pelengkap Busana/Asesori (Peter Sie, 1985:11-12)
Pelengkap busana meliputi sepatu, tas, stocking (kaos kaki), sarung tangan, topi, ikat kepala, scarf/selendang, sabuk dan perhiasan-perhiasan seperti kalung, giwang, anting-anting, cincin, gelang, bros, dan sebagainya. Sebagian dari daftar ini adalah pelengkap yang mutlak seperti sepatu, tas dan ikat pinggang apabila ikat pinggang termasuk dalam rancangan busananya. Sebagian lagi mutlak sesuai
dengan keadaan, lingkungan dan suhu setempat. Seperti sarung tangan, scarf, penutup kepala, dan sebagainya.
Sedangkan perhiasan yang dianggap sebagai pelengkap pemanis adalah tidak mutlak. Seringkall pelengkap pemanis memberi kesan overdressed/bedebihan. Dalam memilih perhiasan berlaku pedoman "more is less" atau "less is more". Yang paling tidak mutlak adalah kalung dan gelang, karena terlalu sering terjadi desain busana Barat sudah tidak memerlukan lagi kalung dan gelang.
Menurut pendapat Peter Sie ada satu jenis perhiasan yang terlalu sering dilupakan wanita Indonesia, yakni bros. Sebagai contoh sebutlah sepuluh wanita Indonesia dan tanyakanlah pada mereka, berapa untai kalung yang mereka miliki? Jawabannya adalah tiga sampai sepuluh untai kalung berbagai jenis. Dan beberapa buah bros yang mereka miliki? Dari sepuluh wanita tersebut mungkin hanya satu atau dua orang saja yang memiliki satu atau dua buah bros. Sedangkan bros adalah pelengkap pemanis yang sangat indah dikenakan pada busana berbahan polos, atau bahan dengan corak garis-garis kecil.
Sebagaimana garis rancangan busananya, asesoris juga merupakan subyek mode. Dimana suatu saat suatu jenis bahan atau bentuk perhiasan dianggap sedang in atau fashionable, dan musim berikutnya sudah dianggap demode atau out. Adalah kewajiban dan tugas seorang perancang untuk membantu memilih pelengkap yang tepat sesuai rancangan pakaiannya, keadaannya, serta lingkungannya dan kesempatannya.
2.2. Mode
2.2.1. Sekilas Mode
Dunia mode adalah dunia yang selalu berubah-ubah, perubahan itu menyangkut aspek-aspek kehidupan (seperti aspek politik, ekonomi, sosial, psikologis dan kebudayaan). Sebagai cermin budaya mode mencakup konsep total yang diterjemahkan melalui rancangan. Hal itu tidak akan berarti bagi kehidupan manusia apabila rancangan tersebut tidak diwujudkan menjadi sebuah benda yang berguna atau berfungsi bagi manusia (Harry Darsono, 1985:5).
Mode ( Harry Darsono,1985:5) adalah sebuah imaji atau citra yang ditampilkan melalui cabang karya seni, tepatnya seni rupa yang berfungsi atau terpakai. Untuk mewujudkan rancangan ini seorang perancang mode tidak dapat bekerja sendiri tanpa melibatkan pihak-pihak lain. Ia harus berkarya dalam suatu kelompok kerja kolektif yang terwujud dalam suatu kelompok kerja yang tangguh dan kompak demi terciptanya konsep total yang nyata.
- cara membuat pola kebaya modifikasi
2.2.2. Mekanisme Kerja Kelompok dalam Dunia Mode
Dalam Dunia Mode Meliputi Unsur-Unsur Sebagai Berikut: pemikir, pencipta, penata, pembuat, penyelenggara, pemakai, pengamat. (Harry Darsono, 1985:5)
Unsur Pencipta/Perancang adalah unsur pembuat adi karya (Master Piece), unsur yang menciptakan konsep atau pola dasar dari sesuatu yang sangat awal; sejak dari pemilihan bahan baku yang digunakan, menentukan warna serta motif dan tata letaknya yang tergabung dalam suatu komposisi dasar hingga sistematika cara pembuatan dan cara pemakaiannya. Unsur Pemakai adalah masyarakat konsumen yang terdiri dari beberapa lapisan dan selera, oleh karena itulah busana yang diproduksi akan disesuaikan dengan adanya lapisan dan selera konsumen tersebut. Unsur Pengamat, unsur ini merupakan suatu profesi yang belum nampak jelas eksistensinya, karena bidang mode merupakan bidang yang baru disadari di negara kita. Pengamat mode ini antara lain terdiri dari kritisi mode, kolumnis mode, peneliti mode, reporter mode, dan sebagainya.
Perubahan dalam dunia mode tersebut disebabkan adanya dinamika yang tumbuh berkembang dalam masyarakatnya, sesuai dengan perkembangan nilai-nilai yang terjadi di dalamnya. Dengan pengaruh dinamika ini pilihan kita terdorong untuk mengikutinya.
2.2.3. Aliran Dalam Dunia Mode
Dalam dunia mode terdapat beberapa aliran (Harry Darsono, 1985:5) yang memiliki ciri-ciri khas sesuai dengan aliran mode tersebut, yakni aliran klasik, aliran new klasik, trend, aliran new-waves. Aliran Klasik adalah suatu aliran dalam dunia mode yang tetap dikenakan dari masa ke masa, hampir tidak mengalami perubahan dalam penampilan busana. Aliran New Klasik adalah suatu aliran dalam dunia mode yang lambat mengalami perubahan dalam penampilan berbusana, perubahan tersebut terjadi berkisar setiap sepuluh tahun sekali. Aliran New Waves adalah suatu aliran dalam dunia mode yang mengalami perubahan dalam penampilan berbusana cepat sekali, sekitar tiga bulan sekali.
2.2.3.1.Trend
Adalah suatu aliran dalam dunia mode yang lambat mengalami perubahan penampilan berbusana sekitar setahun sekali, bahkan sering terjadi dalam satu aliran terjadi beberapa tema atau gaya. Sebagai contoh: sebelum tahun 1970 trend hanya menampilkan suatu gaya tertentu, misalnya celana cut bray (bell bottom) yang diilhami oleh tokoh penyanyi Elvis Presley atau gaun mini yang dipelopori oleh Mary Quant.
Pada umumnya suatu trend dapat bertahan selama enam bulan sesuai dengan siklus iklim, tetapi perubahan dalam mode seringkali juga terjadi secara cepat dalam waktu dua atau tiga bulan, sehingga membingungkan dan merepotkan seluruh perusahaan mulai dari para desainer dan bagian-bagian terkait lainnya (bagian pembelian bahan, promosi, pemasaran, distribusi sampai retailing). Kejenuhan konsumen terhadap suatu trend, juga kejenuhan terdapat pada warna atau jenis bahan tertentu. Produsen pakaian-jadi terpaksa harus tiap kali mempersembahkan sesuatu yang baru untuk mendorong penjualan. Usaha pakaian jadi yang kecil lebih fleksibel dan lincah dalam persoalan ini, dengan cepat produksi item tertentu dapat dihentikan sebelum kejenuhan konsumen memuncak dan diganti dengan produksi baru yang segar. (Lily Salim, 1985:13-14)
2.2.4. Penggolongan busana
Sebagaimana diketahui haluan mode Indonesia mau tidak mau dipengaruhi oleh dunia mode Barat, tetapi ternyata bukan mode saja, gaya hidup bangsa Indonesia lambat laun juga akan memperlihatkan segi-segi yang dipengaruhi oleh gaya hidup Barat. Hal ini berpengaruh dalam dunia mode Indonesia, sehingga penting untuk diketahui oleh para perancang mode tentang penggolongan busana di Barat, agar tidak salah dalam memilih lapangan mana, sekarang terlihat spesialisasinya.
Penggolongan pakaian berdasarkan waktu (lwan Tirta, 1985:8):
1. Pakaian pagi adalah pakaian yang dipakai sehari-hari untuk berbagai kesempatan diwaktu matahari masih bersinar.
2. Pakaian malam adalah pakaian yang dipakai dari waktu matahari terbenam sampai waktu tidur. Kedua kategori di atas ini tentu bisa dibagi menurut sifatnya, yaitu pakaian resmi dan pakaian tidak resmi. Golongan satu dan dua ini sudah banyak diketahui para perancang, maka tidak akan diuraikan secara panjang lebar di sini.
3. Baju santai atau "leasure wear":Pakaian waktu senggang. Busana ini dipakai di lingkungan rumah pada waktu senggang, yang biasanya bersifat setengah resmi atau santai, yang ditandai oleh tidak adanya ciri-ciri resmi seperti pemakaian dasi, dekorasi yang berlebihan dan bahan-bahan yang tidak terlalu mewah.
Beberapa golongan dalam industri pakaian (Lily Salim, 1985: 12-13):
1. Menurut jenis kelamin dan usia:
a. Pakaian khusus untuk kaum pria
b. Pakaian khusus untuk kaum wanita antara 20-30 tahun
c. Pakaian khusus untuk kaum wanita diatas 30 tahun
- pola kebaya modern
d. Pakaian khusus untuk anak-anak muda (teenagers)
e. Pakaian khusus untuk bayi
2. Menurut kategori:
a. Leisure wear atau resort wear - pakaian santai
b. Daytime dresses - pakaian siang
c. Cocktail and evening wear - pakaian sore dan malam
d. Uniforms and work clothes - seragam dan pakaian kerja
e. Theatrical costumes - kostum panggung
3. Menurut mutu dan harga:
a. Mutu tinggi dengan harga yang tinggi
b. Mutu sedang dengan harga yang sedang
c. Mutu kasar dengan harga yang rendah
4. Menurut jenis dan mutu bahan:
a. Bahan alam: sutra, wol, katun
b. Bahan Sintetis: halus, kasar
5. Menurut ukuran (penting untuk import dan eksport berhubung proporsi badan berbeda di beberapa negara)
a. Ukuran orang Barat
b. Ukuran orang Asia.
2.3. Kebaya
Di Indonesia terdapat berbagai macam kebaya. Jenis-jenis kebaya menurut tempat asalnya pakaian kebaya Madura, kebaya Jawa, kebaya Sunda, kebaya Menado, kebaya Jakarta, kebaya panjang Sumatra, dan lain-lain. Tiap-tiap kebaya tersebut di atas memiliki ciri khas masing-masing.
2.3.1. Definisi dan Sejarah Singkat Perkembangan Kebaya
Kebaya adalah baju perempuan bagian atas, berlengan panjang, dipakai dengan kain panjang (kamus besar bahasa indonesia, 1993:458). Potongan kebaya pada mulanya mirip dengan potongan baju kampret (busana laki-laki dengan kancing didepan), tanpa geer atau surawe (belahan kebaya dari leher sampai ujung bawah kebaya), tanpa kupnat dan dibuat tanpa pola. Bagian depan dikancingkan dengan peniti, dada ditutup rapat sampai keleher. Lengan kebaya lurus dan longgar. Panjang kebaya kurang lebih sama dengan panjang lengan kebaya. Bahan untuk kebaya harus tebal, sebab baju dalam yang berupa kutang tidak boleh kelihatan (Daliaty, 1979:78-79). Disamping itu, Perubahan lain kelihatan pada belahan leher di depan yang turun sedikit, kira-kira seperempat tulang dada. Adakalanya belahan leher diberi variasi.(Daliaty, 1979:81).
- pola kutubaru peplum
Pakaian wanita Sunda secara garis besar terdiri dari kebaya atau salontreng, kain panjang atau sarung, kutang, stagen (beubeur) dan sanggui (gelung). Pada pakaian wanita Sunda, pengaruh Jawa ini kelihatan pada bentuk kebaya yang memakai kutubaru dan bef.
Kutubaru muncul sekitar tahun 1915-1920 dilingkungan keraton Solo. Kebaya kutubaru ini pertama kali dipakai oleh putri-putri raja dengan tujuan untuk lebih menonjolkan keindahan perhiasan yang dipakainya. Kebaya kutubaru ini kemudian ditiru oleh wanita Sunda yang sempat berkunjung ke Jawa Tengah. Kebaya kutubaru ini dipakai sekitar tahun 1925. Bentuk kutubaru kecil panjang, menutup belahan kebaya yang terbuka dari sepertiga tulang dada sampai pinggang menutupi stagen, kutubaru dibuat dari bahan yang sama dengan kebaya atau dari bahan bercorak. Selain kutubaru, perubahan lain kelihatan pada lengan kebaya. Kelihatan agak mengecil dibandingkan dengan sebelumnya. Kain agak lurus kebawah, tidak terlalu lebar lagi dan sudah ada yang memakai wiru (lipatan-lipatan ujung kain sebelah luar seperti kipas). Jumlah lipatan selalu ganjil (9,11,13, atau 15). (Daliaty, 1979:81-82).
Menjelang akhir tahun 20-an, yaitu sekitar tahun 1928, ada model kebaya dengan leher berbentuk . Kebaya di tahun 1930-1940, penuh dengan variasi (lihat Gbr 1). Bahan kebaya tersedia di pasar dalam bermacam-macam kualitas dan jenis, seperti georgette, chiffon, katun polos, katun kembang, paris kembang, paris kaca atau paris gelas, satin, beludru, kain renda, dan sebagainya. Sekitar tahun 1935, kutubaru menjadi agak pendek, tetapi tetap menutupi stagen. Pinggang kebaya mulai berbentuk, tetapi tidak ketat. Leher kebaya lebih rendah dari sebelumnya, kira-kira sampai pertengahan tulang dada. Pada tahun-tahun ini banyak yang memakai kebaya yang ujungnya agak runcing seperti kebaya Cina, atau kebaya yang ujung lengannya lebar sekali. Wanita yang pernah mendapat pendidikan secara barat banyak yang menambahkan hiasan pada kebayanya berupa renda dan sulaman. Tahun 1940 kelihatan kebaya sudah lebih ketat dibadan, lebih memperlihatkan bentuk tubuh. (Daliaty, 1979:83-84).
Setelah Jepang masuk, keadaan darurat menyebabkan bahan pakaian sulit didapat. Sebagai gantinya, banyak wanita Sunda yang memakai kelambu, tirai, dan lain-lain untuk kebaya atau blus. Pada keadaan ini terjadi variasi pada kebaya, antara lain kebaya yang penuh dengan kerutan dilengan dan didada, sehingga mirip blus biasa.(Daliati, 1979:85).
Setelah tahun 1949, kelihatan makin banyak wanita yang memakai gaun biasa. Kain dan kebaya mulai ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari oleh wanita muda. Fungsi kebaya mulai berubah, tidak lagi merupakan pakaian sehari-hari, tetapi sebagai pakaian resmi untuk menghadiri pertemuan atau undangan. Kebaya hitam dari bahan renda yang baik menjadi kebaya kebesaran dalam perjamuan kenegaraan. Sejak saat itu perkembangan kebaya lebih bersifat umum, karena kebaya telah diterima sebagai pakaian nasional yang
dipakai oleh seluruh wanita Indonesia. Potongan kebaya tidak mengalami perubahan besar, dan bentuk leher kebaya tetap berdasarkan tiga bentuk utama yaitu bentuk-Bentuk dan bentuk disamping kebaya kutubaru. Panjang kebaya kurang lebih sama
dengan panjang lengan kebaya.(Daliaty, 1979:87).
Awal tahun 1950 pola kebaya berubah, surawe atau geer diganti dengan kupnat tegak, dua buah di depan dan dua buah dibelakang. Lengan kebaya lebih kecil, tetapi tidak ketat. Kira-kira pada tahun 1950, muncul suatu 1fad dalam mode kebaya, yaitu kebaya dengan kerutan didada dan mempunyai bentuk leher berupa dua belah ketupat yang bersambung. Pola kebaya agak berubah, yaitu memakai kupnat samping dan kupnat tegak. Dengan kedua macam kupnat ini bentuk kebaya kelihatan lebih rapi dan lebih mengikuti bentuk tubuh. Pada perioda ini wanita Sunda lebih banyak memakai kebaya kutubaru daripada kebaya Sunda. Panjang kebaya tepat pada bagian pinggul terbesar, atau sama dengan panjang lengan kebaya. Pada masa ini kebaya dibuat dari bahan yang tembus pandang dan halus seperti nylon, chiffon, brocade, paris dan voile. Wama kebaya tidak terikat oleh kebiasaan daerah tetapi sesuai dengan warna yang sedang digemari umum pada waktu itu. Perubahan lain pada kebaya adalah pada alat penutup belahan kebaya didepan. Kedudukan peniti sebagai alat pengancing kebaya diganti dengan kancing tekan. Dengan kancing tersebut kebaya lebih mudah dipakai. Sebagai pelengkap dan pemanis dipakai bros atau kalung, giwang atau anting dan gelang. Pada awal 1960-an, ada usaha menjadikan kebaya sebagai pa¬kaian kerja sehari-hari wanita di kantor. Usaha ini dilakukan oleh Dr. Hurustiati Subandrio, Ny. Harjoto dan lain-lain, tetapi tidak berhasil. (Daliaty, 1979:88-90).
Dengan memperhatikan perkembangan sejarah Jawa Barat sampai dengan tahun 1942 (runtuhnya pemerintah Hindia-Belanda), dapatlah disimpulkan bahwa kebudayaan yang masuk ke Jawa Barat itu ialah: kebudayaan Hindu, Cina, Persia, Arab, Eropa (Portugis, Belanda, dan Inggris), dan Jawa. Pengaruh kebudayaan luar itu tampak pula pada busana yang ada di Jawa Barat, walaupun corak busana asli masih terlihat adanya. (Wibisana,dkk, 1986: 24-25).
Mode baru pada kebaya mulai timbul sekitar awal tahun 1970-an, diawali dengan munculnya kebaya kartini pada tahun 1972. Kebaya kartini sebenarnya adalah kebaya gaya lama dari Jawa Tengah yang diperbaharui. Kebaya ini ditampilkan kembali oleh perancang pakaian daerah di Jakarta, yaitu Ny. Pipi Suhamoko Harbani.
Selain perubahan pada bentuk juga terjadi perubahan fungsi kutubaru. Menurut Ny. Toeti A Djaelani bahwa pada hakekatnya, kutubaru dikalangan mode kebaya adalah suatu ciptaan mutakhir untuk lebih menonjolkan keelokkan tubuh (Daliati,
1979:152). Konsep penggunaan kutubaru berubah, bila semula bertujuan memperlihatkan keindahan perhiasan yang menghias tubuh wanita, sekarang bertujuan memperlihatkan keindahan bentuk tubuh wanita itu sendiri.
Tahun 1974 kebaya Sunda muncul dalam sebuah majalah wanita sebagai mode kebaya yang telah mengalami perubahan dibandingkan dengan kebaya Sunda tahun 1950. Potongan kebaya dibuat lebih mengikuti bentuk tubuh dengan memakai kupnat samping dan kupnat tegak, tetapi tidak terlalu ketat sehingga tidak mengganggu gerak si pemakai. Panjang kebaya tepat dibagian pinggul terbesar, lebih pendek dari lengan panjang kebaya.
Tahun 1974 - 1977 mode kebaya Sunda yang umum dipakai adalah kebaya dengan bentuk leher segiempat, polos atau agak dibulatkan, belahan depan tertutup rapat sampai bawah. Panjang kebaya tepat dibagian pinggul terbesar, lebih pendek dari panjang lengan kebaya atau sama panjang dengan lengan kebaya. Kebaya ini dapat dipakai dengan atau tanpa selendang, dibuat dari bahan yang lembut dan halus seperti chiffon, georgette, brocade, dan sebagainya. Kain batik sebelah luar diwiru dengan jumlah lipatan 9, 11, 13, atau 15. Alas kaki dipakai kelom geulis atau selop bertumit tinggi, baik yang terbuka maupun yang tertutup. Perlengkapan lain yang dipakai untuk kain kebaya Sunda ini umumnya sebuah tas kecil dan beberapa buah perhiasan seperti kalung yang sederhana untuk siang hari atau bros, giwang, gelang, dan cincin. Pada mode kebaya tahun 1970-an ini tampak susunan bunga segar dipakai menggantikan tusuk sanggul.
Pada tahun 1978, terdapat perubahan mode kebaya Sunda pada bentuk leher dan panjang kebaya. Pada mode ini leher kebaya berbentuk segiempat polos diberi lekukan, dan bagian belakang agak ditinggikan. Panjang kebaya sampai dibawah garis pinggul, sedikit lebih panjang dilengan kebaya. Selain itu terdapat perubahan dalam perhiasan pelengkap kebaya, yaitu berupa bros perak dengan desain klasik.
Ada yang hanya berupa bros tunggal yang besar, ada yang berupa rentengan tiga buah bros yang masing-masing berukuran besar, sedang dan kecil. Sementara itu pakaian kaum wanita pun tampak mengalami perkembangan. Potongan kebaya makin lama makin mengepas tubuh pemakainya dan diperpendek bagian bawahnya. Maka terkenallah sebutan kabaya Bandung.
Pakaian daerah Sunda sebagai salah satu hasil kebudayaan masyarakat Sunda tidak lepas dari pengaruh asing yang masuk ke daerah Sunda. Pengaruh asing ini mengakibatkan terjadinya perubahan budaya masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan pemakaian bahan, pola, corak dan warna dari waktu ke waktu.
Sifat orang Sunda yang lebih terbuka terhadap pengaruh asing dapat dilihat diantaranya dari pakaian dan perlengkapan pakaian. Misalnya wanita
sunda mengenal kerutan pada lengan, kerutan di dada, lengan yang lebar, lengan bermanset atau kebaya dengan pinggiran yang diberi lengkungan-lengkungan. Cara berpakaian sepedi ini berbeda dengan wanita Jawa umumnya yang lebih teguh memegang tradisi berpakaian. (Daliaty, 1979:67)
Tekstil tradisional telah menyesuaikan diri dengan keadaan modern, tetapi sebagian besar masih bernafaskan tradisi masa lampau. Tekstil tradisional yang masih dibuat menurut teknik lama hanya bisa dipakai dalam dunia modern Indonesia sebagai pakaian acara tertentu (occasional wear) dan dengan semakin mahalnya tenaga manusia akan berakibat eksklusifisme daripada kerajinan tangan. Jadi bukan tidak mungkin di masa depan dibuat pakaian sehari-hari dari bahan tradisional Indones.(lwan Thta, 1985:10)
Kadangkala tekstil dapat membedakan status sosial seseorang. Orang yang sudah mapan dalam kedudukan dan keuangannya, umumnya cenderung memilih tekstil yang terbaik. Sebaliknya, pergaulan dan pengetahuan yang luas kadangkala dapat membina selera berpakaian seseorang. Dahulu bahan yang digunakan untuk golongan menak dan santana adalah kain sutra, katun halus, dan beludru. Bercorak kecil, sedang, garis, bercorak bulatan-bulatan (polka-dot) atau polos (D&Iaty 1979:31, 65-66,80)
Kini bahan-bahan yang dipakai untuk pakaian tersedia dalam bermacam-macam warna, tekstur dan kualitas, tanpa ada pembatasan bagi setiap golongan masyarakat. Kebaya dewasa ini umumnya bahan yang lembut, tetapi tidak terlalu tipis seperti georgette, chiffon, voile, katun, linen, sutera atau beludru.
Dalam hal warna orang Sunda dikenal sangat menyukai warna, terutama warna cerah, yang kadang-kadang agak menyolok. Dari pakaian sehari-hari orang Sunda dan keadaan pasar, dapat dilihat bahwa kegemaran akan warna cerah ini berlangsung sampai sekarang. Kegemaran pada warna-warna yang cerah, yang mengesankan keriangan sejalan dengan watak orang Sunda umumnya yang periang, terbuka dan bebas.
2.3.2. Pemakaian dan Fungsi Kebaya
Dahulu kebaya digunakan oleh wanita di segala lapisan, dari mulai ralwat biasa sampai dengan kaum bangsawan. Pada zaman pemerintahan Belanda dahulu telah dikeluarkan peraturan tentang bentuk dan cara berpakaian bagi para Bangsawan dan pejabat pemerintah saat itu. Aturan ini berupa keseragaman pakaian yang harus dikenakan oleh pejabat tingkat tertentu pada saat-saat yang ditentukan, yang dimuat pada staatblat (peraturan pemerintah). Bentuk pakaian yang ditentukan pada peraturan itu berupa perpaduan antara bentuk busana tradisi setempat (Sunda) dan tradisi Eropa, terutama Belanda. Itulah sebabnya pada baju pejabat atau bangsawan (bupati dan sultan) terdapat hiasan yang
berupa pasmen (sulaman dari benang emas atau perak) yang disesuaikan dengan tinggi rendahnya jabatan (Wibisana,dkk, 1986:266-267). Peraturan feodal tersebut lebih ditujukan untuk melindungi status sosial golongan menak, seperti adanya larangan memakai pakaian yang sama dengan atasannya, larangan memakai pakaian yang tidak sesuai dengan status sosial dan pekerjaannya. Dahulu orang yang kedudukannya tinggi mengenakan busana yang beragam bentuk atau modelnya, beragam dan banyak pula perhiasannya, dan secara keseluruhan harganya mahal. Makin tinggi kedudukkannya, makin tinggi pula segala sesuatunya, begitu pula sebaliknya.
Masyarakat Sunda jaman Feodal dulu lebih berfungsi untuk membedakan golongan menak dari golongan rakyat biasa. Sebenarnya tidak ada peraturan yang melarang golongan rakyat biasa memiliki dan memakai pakaian yang sama baiknya dengan pakaian golongan menak. Karena dari golongan rakyat biasa pun ada yang tergolong mampu, seperti tuan tanah, pedagang besar, dan sebagainya. Pendapat lain menjelaskan, bahwa pada dasarnya dalam kehidupan masyarakat Sunda pakaian tidak terlalu penting untuk menunjukkan status sosial seseorang. Pendapat ini berdasarkan latar belakang masyarakat Sunda sebagai manusia ladang, yang tidak terikat secara kaku pada keraton dan lebih demokratis(Daliaty, 1979:42-43). Pakaian orang sunda zaman Feodal dahulu dapat membedakan pekerjaan seseorang.
Pada busana yang dikenakan rakyat biasa lebih menonjol segi praktisnya, sedangkan pada busana kalangan atas lebih banyak memperhitungkan fungsi estetisnya. Disamping itu, bentuk busana rawat biasa lebih berorientasi kepada nilai-nilai budaya tradisional. Adapun para pejabat pemerintahan (dahulu:bangsawan) dalam menentukan busana banyak berorientasi kepada sifat-sifat dasar budaya tradisional dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan atau peraturan pada waktu itu. Tampak pula bahwa bahwa pengaruh yang datangnya dari luar lebih cepat diterima dan kemudian dikembangkan oleh kalangan pejabat pemerintahan. Selanjutnya, ada kecenderungan bahwa kalangan bawah atau rakyat saat itu menentukan batas sendiri, sesuai dengan kedudukannya, sehingga mereka tidak meniru sesuatu yang biasa dilakukan oleh kalangan atas, termasuk dalam hal pakaian (Wibisana,dkk, 1986:262-263). Pada dasarnya tidak ada perbedaan bentuk antara pakaian wanita menak dengan pakaian wanita cacah atau wanita santana. Salah satu perbedaan lain yang terdapat pada pakaian wanita golongan menak ialah pada corak kain batik yang dipakainya. Ada corak batik yang terlarang sama sekali bagi golongan cacah. (Daliaty, 1979:63-64)
Kini selain pada pesta perkawinan, pakaian daerah Sunda, terutama pakaian daerah wanita, sering tampil pada pesta khitanan, pada hari raya, pada upacara keagamaan, pada upacara kenegaraan, pada acara nasional seperti hari Kartini, hari Ibu dan pada acara-acara organisasi. Pada kesempatan-kesempatan ini kebaya
pola kebaya kartini
mempunyai fungsi umum sebagai pakaian resmi, baik sebagai salah satu pakaian resmi daerah, maupun sebagai salah satu pakaian resmi nasional yang umum dipakai oleh wanita Indonesia.(Daliaty, 1979:162)
Pakaian daerah Sunda mempunyai fungsi khusus sebagai identitas kedaerahan. Dikalangan yang lebih luas, seperti dikalangan Internasional, kain dan kebaya dikenaI sebagai pakaian wanita Indonesia. Dalam lingkup ini pakaian daerah Sunda sebagai salah satu model pakaian nasional Indonesia mempunyai fungsi khusus sebagai pembawa identitas kebangsaan. (Daliaty, 1979:162-163)
2.3.3. Nilai-nilai kebaya
Tradisi selalu mengalami perubahan, baik karena pengaruh kebudayaan asing, maupun akibat perubahan-perubahan dalam masyarakat itu sendiri. Pengaruh kebudayaan asing dalam pakaian tradisional dapat berupa pemakaian corak pakaian bangsa asing, seperti pola atau potongan dan warna bahan pakaian.
Demikian pula bidang tenunan tradisional telah terdesak dan digantikan bahan-bahan busana yang dihasilkan di pabrik. Arti-arti simbolik warna sudah lama berpindah pada pilihan yang bersifat estetis melalui paduan warna, dengan pertimbangan sedap dipandang, praktis, dan kemudahan pemasarannya. Perguncangan nilai terjadi sangat kuat, sehingga ditinggalkannya nilai lama dan berlakunya nilai baru. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat mengakibatkan munculnya tradisi baru yang sebelumnya tidak ada.
Keadaan demikian sudah tentu lebih banyak disebabkan perkembangan zaman dengan segala pengaruhnya yang masuk pada kehidupan masyarakat. Memang benar, ralwat pernah mengalami kesulitan mendapatkan bahan pakaian pada zaman Jepang, namun hal itu bukanlah faktor yang menyebabkan ditinggalkannya busana tradisional. Saat ini, bila mereka mau membuat dan memakainya, tentu akan mampu, berhubung daya beli masyarakat sekarang sudah dapat menjangkaunya.
- cara bikin pola kemben
Tidak populernya busana tradisional itu berawal dari pertengahan tahun 40-an atau pada zaman revolusi fisik waktu merebut kemerdekaan. Saat itulah terjadi pergantian nilai dikalangan rakyat Indonesia. Nilai baru melahirkan sikap baru, diantaranya ialah yang berhubungan dengan pandangan, pikiran dan tindakan. Pandangan terhadap pakaian tradisional saat itu berubah; mungkin dianggapnya tidak praktis atau sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itulah sedikit-sedikit mulai ditinggalkan. Mungkin juga masyarakat beranggapan saat itu, bahwa pakaian semacam itu sudah kolot sejalan dengan berkobarnya semangat pemuda
- pola kebaya kutubaru peplum
yang ingin menegakkan kemerdekaan bangsa dan sekaligus membuang hal-hal yang bersifat kolot. (Wibisana,dkk, 1986:257-258)
2.3.4. Gejala perubahan busana
Gejala perubahan busana ini terdiri dari beberapa hal, yaitu pertama keawaman pada tradisi, adakalanya masyarakat berkeinginan membuat pemanis baru dalam bidang busana yang menurut pendapatnya bertolak dari tradisi. Akan tetapi, karena mereka sebenarnya awam, tegasnya tidak mengetahui tradisi sebenarnya, maka hasijnya itu tidak merupakan kelanjutan atau perkembangan busana yang telah ada. Kedua, peraturan khusus. Ketiga, selera masyarakat dewasa ini. Keempat, dahulu warna-warna pakaian sangat terbatas, tetapi sekarang sudah banyak pilihan. Demikian pula potongan pakaian, dahulu tidak banyak ragamnya, namun dewasa ini amat banyak dengan segala variasinya. Hal ini disebabkan mudahnya memilih bahan ditambah banyak pula gambar potongan pakaian yang dimuat di buku-buku mode atau majalah yang dapat dicontoh. Di samping itu faktor selera masyarakat pun menjadi penyebab hidupnya ragam pakaian. Masyarakat saat ini menyenangi warna-warna yang hidup atau warna yang dirasakan sesuai dengan warna kulitnya. Mereka pun dapat memilih potongan pakaian yang dianggap sesuai dengan bentuk tubuhnya. Atau, pemilihan potongan dan warna itu disesuaikan dengan situasi yang akan dihadapinya, seperti darmawisata, mengunjungi resepsi malam hari, melayat orang yang sedang berduka cita, dan sebagainya. Warna bahan dan potongan yang bermacam-macam, selera masyarakat, serta penyesuaian dengan situasi, yang kesemuanya tidak bersinggungan dengan kehidupan tradisi, itulah pula yang menyebabkan busana yang digunakan masyarakat makin berkembang, tapi makin jauh dari ketentuan busana tradisional. Kelima, Banyak orang beranggapan bahwa penggunaan busana tradisional untuk sehari-hari tidak praktis. Kaum wanita harus membuat atau memasang sanggul dahulu, kemudian harus menggunakan kain dan kebaya. Hal itu memerlukan waktu yang cukup lama, banyak unak-aniknya, dan karenanya dianggap tidak praktis. Beberapa hal tersebut timbul dari sikap masyarakat sendiri. Mereka lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat praktis dan estetis, disamping adanya kecenderungan ingin bebas dari ikatan dalam berkreasi atau bertindak. Simbolisme berpakaian dalam kehidupan sudah diganti dengan kelugasan, (Wibisana,dkk, 1986:258-262)
Perubahan busana menurut Herman Yusuf, terjadi akibat:
• Sistem terbuka (tidak ada perbedaan kelas)
• Melimpahnya bahan tekstil
• Negara makmur
- pola kebaya kelepet
• Perbedaan orang yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan. Contoh: busana orang seni rupa (berubah) dan yang bukan orang dari seni rupa bersifat statis.
• Kontak dengan orang asing atau negara lain. Contoh: busana orang kota ditiru oleh orang desa.
• Channel
Kawula muda sebagai ide rancangan
• Emansipasi wanita
Contoh: dulu kaum wanita berkebaya seperti Kartini sebagai emansipasi wanita, kemudian beralih dengan memakai rok (seperti orang Belanda), sekarang wanita lebih senang bercelana panjang.
• Teknologi: menemukan mesin canggih, sehingga dapat menghasilkan serat model baru, kulit buatan, kain sintetis.
• Kemungkinan-kemungkinan baru dalam tekstil memungkinkan pula kemungkinan kemungkinan baru dalam mode.
Pertimbangan estetis pakaian Barat, pembauran ini menghasilkan aneka ragam desain kebaya yang tidak menonjolkan ciri kedaerahan. Pertimbangan estetis pakaian Barat tampak menonjol pada paduan wama kain-kebaya. Selain pembauran ini, tampak pula gejala-gejala ingin kembali pada gaya-gaya lama Dalam hal ini kelihatan bahwa yang hendak ditampilkan kembali adalah bentuk pakaiannya saja, bukan penampilan secara keseluruhan. Tampilnya kembali pakaian-daerah gaya lama ini pun berdasarkan pemikiran untuk disesuaikan dengan mode pakaian yang sedang berlaku. Diluar hal tersebut, pengetahuan masyarakat Sunda sendiri tentang pakaian daerah Sunda sudah banyak berkurang, terutama dikalangan generasi muda. (Daliaty, 1979:3)
Bagi sebagian besar masyarakat Sunda, dalam lingkungan kehidupan seperti sekarang ini pakaian-daerah selalu dihubungkan dengan sesuatu yang bersifat adat, atau sesuatu yang bersifat upacara. Pemikiran ini menjadikan pakaian-daerah sebagai pakaian adat atau pakaian upacara yang dipakai untuk menyesuaikan diri dengan suasana yang dihadirinya. Proses pembauran bermacam-macam langgam kebaya dan perkembangan mode dalam pakaian-daerah tampaknya semakin menjauhkan generasi muda Sunda dari pengetahuan tentang pakaian-daerah tradisional Sunda (Daliat)/, 1979i3-4). Selain ftu kreasi baru umumnya mengambil ilham dari kebaya lama.
2.3.5. Trend 1995 (New Indonesia)
Trend 1995 (Thalib,1995), New Indonesia, dengan inspirasi: Peranan penting "Indonesia Masa Kini" di tengah era globalisasi dengan latarbelakang kekayaan tradisi, budaya yang beragam merupakan sumber inspirasi unik tema
- pecah pola kebaya kartini
ini. Agar budaya Indonesia dapat tampil lebih dengan keanekaragaman tradisi dan budaya negara-negara lain di Asia Tenggara. Styling: Modifikasi siluet busana tradisional dalam proporsi yang modern (lihat Gbr 7), sarung gaya baru, kebaya gaya baru. Bahan: Sutra, katun, linen, bahan serat alami, bahan tembus pandang. Corak: Modifikasi batik, ikat, tye-dye. Corak-corak antik perpaduan corak kotak dan garis pada sarung. Warna. Nuansa warna tumbuhan tropis. Jingga api, hijau pupus, ungu, terakota, merah cabai. Aksesori: Modifikasi aksesori tradisional. Target pasar: Basic sampai dengan designer's item.
Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang pola kebaya kutubaru
, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang Mengidentifikasi produk kerajinan dari bahan keras di lingkungan Kelompok 4
. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.
buka mesin jahit : digilib.repository.tcis.telkomuniversity.ac.id/...2012/Webometrics/.../BAB.2.docx