Perlawanan Menentang Kolonialisme dan Imperialisme Barat
Periode Sesudah Abad Ke-18
1. Perang Paderi (1803 – 1838)
Peristiwa ini berawal dari gerakan Paderi untuk memurnikan ajaran Islam di wilayah Minangkabau, Sumatra Barat. Perang ini dikenal dengan nama Perang Paderi lantaran merupakan perang antara kaum Paderi/kaum putih/golongan agama melawan kaum hitam/kaum Adat dan Belanda.
Tokoh-tokoh pendukung kaum Paderi yaitu Tuanku Nan Renceh, Tuanku Kota Tua, Tuanku Mensiangan, Tuanku Pasaman, Tuanku Tambusi, dan Tuanku Imam.
Jalannya Perang Paderi sanggup dibagi menjadi 3 tahapan
1 ) Tahap I, tahun 1803 – 1821
Ciri perang tahap pertama ini yaitu murni perang saudara dan belum ada campur tangan pihak luar, dalam hal ini Belanda. Perang ini mengalami perkembangan gres ketika kaum Adat meminta dukungan kepada Belanda. Sejak itu dimulailah Perang Paderi melawan Belanda.
2 ) Tahap II, tahun 1822 – 1832
Tahap ini ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda yang makin melemah berhasil mengadakan perjanjian dengan kaum Paderi. Pada tahun 1825, berhubung dengan adanya perlawanan Diponegoro di Jawa, pemerintah Hindia Belanda dihadapkan pada kesulitan baru. Kekuatan militer Belanda terbatas, dan harus menghadapi dua perlawanan besar yaitu perlawanan kaum Paderi dan perlawanan Diponegoro.
Oleh lantaran itu, Belanda mengadakan perjanjian perdamaian dengan Kaum Paderi. Perjanjian tersebut yaitu Perjanjian Masang (1825) yang berisi persoalan gencatan senjata di antara kedua belah pihak.
Setelah Perang Diponegoro selesai, Belanda kembali menggempur kaum Paderi di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ellout tahun 1831. Kemudian, disusul juga oleh pasukan yang dipimpin Mayor Michiels.
3 ) Tahap III, tahun 1832 – 1838
Perang pada tahap ini adalah perang semesta rakyat Minangkabau mengusir Belanda. Sejak tahun 1831 kaum Adat dan kaum Paderi bersatu melawan Belanda yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.
Pada tanggal 16 Agustus 1837 jam 8 pagi, Bonjol secara keseluruhan diduduki Belanda. Tuanku Imam mengungsi ke Marapak.
Pertempuran itu berakhir dengan penangkapan Tuanku Imam, yang pribadi dibawa ke Padang. Selanjutnya atas perintah Letkol Michiels, Tuanku Imam diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat pada tahun 1838. Kemudian pada tahun1839 dipindah ke Ambon. Tiga tahun kemudian dipindah ke Manado hingga meninggal pada tanggal 6 November 1964 pada usia 92 tahun.
2. Perang Maluku (1817)
Ketika Belanda kembali berkuasa pada tahun 1817, monopoli diberlakukan lagi. Diberlakukan lagi sistem ekonomi uang kertas yang sangat dibenci dan keluar perintah sistem kerja paksa (rodi).
Belanda sepertinya juga tidak mau menyokong dan memerhatikan keberadaan gereja Protestan dan pengelolaan sekolah- sekolah protestan secara layak. Inilah penyebab utama meletusnya Perang Maluku yang dipimpin Kapitan Pattimura.
Pada tanggal 15 Mei 1817, pasukan Pattimura mengadakan penyerbuan ke Benteng Duurstede. Dalam penyerangan tersebut, Benteng Duurstede sanggup diduduki oleh pasukan Pattimura bahkan residen van den Berg beserta keluarganya tewas.
Tentara Belanda yang tersisa dalam benteng tersebut menyerahkan diri. Dalam penyerbuan itu, Pattimura dibantu oleh Anthonie Rheebok, Christina Martha Tiahahu, Philip Latumahina, dan Kapitan Said Printah.
Berkat siasat Belanda yang berhasil membujuk Raja Booi, pada tanggal 11 November 1817, Thomas Matulessy atau yang bersahabat dikenal dengan gelar Kapitan Pattimura berhasil ditangkap di perbatasan hutan Booi dan Haria.
Akhirnya vonis eksekusi gantung dijatuhkan kepada empat pemimpin, yaitu Thomas Matullessy atau Kapitan Pattimura, Anthonie Rheebok, Said Printah, dan Philip Latumahina. Eksekusi hukuman gantung hingga mati dilaksanakan pada pukul 07.00 tanggal 10 Desember 1817 disaksikan rakyat Ambon.
3. Perang Bone (1824)
Pada tahun 1824, Gubernur Jenderal van der Capellen membujuk kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan untuk memperbarui Perjanjian Bongaya, tetapi Bone bersikeras menolaknya.
Setelah van der Capellen pergi meninggalkan Bone, Ratu Bone memimpin kerajaan-kerajaan Bugis melancarkan perang. Mereka merebut wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda dan berhasil membantai dua garnisun Belanda. Tentunya pihak Belanda tidak tinggal diam, segera melancarkan serangan balasan
Pada tahun 1825, pasukan Belanda berhasil memukul pasukan Bone. Penaklukan yang terakhir dan menentukan kekalahan Bone, gres terjadi pada tahun 1908. Bone harus menandatangani Perjanjian Pendek atau plakat pendek (Korte Verklaring).
4. Perang Diponegoro (1825 – 1830)
Pada ketika sebelum Perang Diponegoro meletus, terjadi kekalutan di Istana Yogyakarta. Ketegangan mulai timbul ketika Sultan Hamengku Buwono II memecat dan menggeser pegawai istana dan bupati-bupati yang dahulu dipilih oleh Sultan Hamengku Buwono I.
Kekacauan dalam istana semakin besar ketika mulai ada campur tangan Belanda. Tindakan diktatorial yang dilakukan Belanda menimbulkan kebencian rakyat. Kondisi ini memuncak menjadi perlawanan menentang Belanda.
Sebab-sebab umum perlawanan Diponegoro.
1). Kekuasaan Raja Mataram semakin lemah, daerahnya dipecah- pecah.
2). Belanda ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan dan pengangkatan raja pengganti.
3). Kaum darah biru sangat dirugikan karena sebagian besar sumber penghasilannya diambil alih oleh Belanda. Mereka dihentikan menyewakan tanah bahkan diambil alih haknya.
4). Adat istiadat keraton menjadi rusak dan kehidupan beragama menjadi merosot.
5). Penderitaan rakyat yang berkepanjangan sebagai tanggapan dari aneka macam macam pajak, menyerupai pajak hasil bumi, pajak jembatan, pajak jalan, pajak pasar, pajak ternak, pajak dagangan, pajak kepala, dan pajak tanah.
Hal yang menjadi lantaran utama perlawanan Pangeran Diponegoro yaitu adanya rencana pembuatan jalan yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Dalam perang tersebut, Pangeran Diponegoro mendapatkan dukungan dari rakyat Tegalrejo, dan dibantu Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasyah Prawirodirjo, dan Pangeran Dipokusumo.
Pada tanggal 20 Juli 1825, Belanda bersama Patih Danurejo IV mengadakan serangan ke Tegalrejo
Pangeran Diponegoro bersama pengikutnya menyingkir ke Selarong, sebuah perbukitan di Selatan Yogyakarta. Selarong dijadikan markas untuk menyusun kekuatan dan taktik penyerangan secara gerilya.
Agar tidak gampang diketahui oleh pihak Belanda, tempat markas berpindah-pindah, dari Selarong ke Plered kemudian ke Dekso dan ke Pengasih. Perang Diponegoro memakai siasat perang gerilya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Berbagai upaya untuk mematahkan perlawanan Pangeran Diponegoro telah dilakukan Belanda, namun masih gagal. Siasat Benteng stelsel (sistem Benteng) yang banyak menguras biaya diterapkan juga. Namun sistem benteng ini juga kurang efektif untuk mematahkan perlawanan Diponegoro.
Jenderal De Kock risikonya memakai siasat tipu kebijaksanaan bulus melalui perundingan. Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro bersedia hadir untuk berunding di rumah Residen Kedu di Magelang.
Dalam negosiasi tersebut, Pangeran Diponegoro ditangkap dan ditawan di Semarang dan dipindah ke Batavia. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1830 dipindah lagi ke Manado. Pada tahun 1834 pengasingannya dipindah lagi ke Makassar hingga meninggal dunia pada usia 70 tahun tepatnya tanggal 8 Januari 1855.
5. Perang Bali (1844)
Pada tahun 1844, sebuah kapal dagang Belanda kandas di daerah Prancak (daerah Jembara), yang ketika itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Buleleng.
Kerajaan-kerajaan di Bali termasuk Buleleng pada ketika itu memberlakukan hak tawan karang. Dengan demikian, kapal dagang Belanda tersebut menjadi hak Kerajaan Buleleng.
Pemerintah kolonial Belanda memprotes Raja Buleleng yang dianggap merampas kapal Belanda, namun tidak dihiraukan. Insiden inilah yang memicu pecahnya Perang Bali, atau dikenal juga dengan nama Perang Jagaraga.
Belanda melaksanakan penyerangan terhadap Pulau Bali pada tahun 1846. Yang menjadi sasaran pertama dan utama yaitu Kerajaan Buleleng. Patih I Gusti Ktut Jelantik beserta pasukan menghadapi serbuan Belanda dengan gigih. Pertempuran yang begitu heroik terjadi di Jagaraga yang merupakan salah satu benteng pertahanan Bali.
Belanda melakukan serangan mendadak terhadap pasukan Bali di benteng Jagaraga. Dalam pertempuran tersebut, pasukan Bali tidak sanggup menghalau pasukan musuh. Akhirnya pasukan I Gusti Ktut Jelantik terdesak dan mengundurkan diri ke daerah luar benteng Jagaraga.
Waktu benteng Jagaraga jatuh ke pihak Belanda, pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Mayor A.V. Michiels dan sebagai wakilnya yaitu van Swieten. Raja Buleleng dan patih
dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda menuju Karangasem. Setelah Buleleng secara keseluruhan sanggup dikuasai, Belanda kemudian berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya di Pulau Bali.
Ternyata perlawanan sengit dari rakyat setempat menciptakan pihak Belanda cukup kewalahan. Perang puputan pecah di mana-mana, menyerupai Perang Puputan Kusamba (1849), Perang Puputan Badung (1906), dan Perang Puputan Klungkung (1908).
6. Perang Banjar (1859 –1905)
Campur tangan pemerintah Belanda dalam urusan pergantian kekuasaan di Banjar merupakan biang perpecahan. Sewaktu Sultan Adam Al Wasikbillah memegang tahta kerajaan Banjar (1825 – 1857), putra mahkota yang berjulukan Sultan Muda Abdurrakhman meninggal dunia.
Dengan demikian calon berikutnya yaitu putra Sultan Muda Abdurrakhman atau cucu Sultan Adam. Yang menjadi persoalan yaitu cucu Sultan Adam dari putra mahkota ada dua orang, yaitu Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Tamjid.
Sultan Adam cenderung untuk menentukan Pangeran Hidayatullah. Alasannya memiliki perangai yang baik, taat beragama, luas pengetahuan, dan disukai rakyat. Sebaliknya Pangeran Tamjid kelakuannya kurang terpuji, kurang taat beragama dan bergaya hidup kebarat-baratan menggandakan orang Belanda.
Pangeran Tamjid inilah yang dekat dengan Belanda dan dijagokan oleh Belanda. Belanda menekan Sultan Adam dan mengancam supaya mengangkat Pangeran Tamjid.
Di mana-mana timbul suara ketidakpuasan masyarakat terhadap Sultan Tamjidillah II (gelar Sultan Tamjid sehabis naik tahta) dan kebencian rakyat terhadap Belanda. Kebencian rakyat lama-lama menjelma bentuk perlawanan yang terjadi di mana-mana. Perlawanan tersebut dipimpin oleh seorang figur yang didambakan rakyat, yaitu Pangeran Antasari.
Pangeran Hidayatullah secara terang-terangan menyatakan memihak kepada Pangeran Antasari. Bentuk perlawanan rakyat terhadap Belanda mulai berkobar sekitar tahun 1859. Pangeran Antasari juga diperkuat oleh Kyai Demang Lehman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, dan Kyai Langlang.
Penyerangan diarahkan pada pos- pos tentara milik Belanda dan pos-pos missi Nasrani. Benteng Belanda di Tabania berhasil direbut dan dikuasai. Tidak usang kemudian tiba dukungan tentara Belanda dari Jawa yang dipimpin oleh Verspick, berhasil membalik keadaan sehabis terjadi pertempuran sengit.
Akibat musuh terlalu kuat, beberapa orang pemimpin perlawanan ditangkap. Pangeran Hidayatullah ditawan oleh Belanda pada tanggal 3 Maret 1862, dan diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Pada tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari wafat.
Sepeninggal Pangeran Antasari, para pemimpin rakyat mufakat sebagai penggantinya yaitu Gusti Mohammad Seman, putra Pangeran Antasari.
7. Perang Aceh (1873 – 1904)
Penandatanganan Traktat Sumatra antara Inggris dan Belanda pada tahun 1871 membuka kesempatan kepada Belanda untuk mulai melaksanakan intervensi ke Kerajaan Aceh. Belanda menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh lantaran Kerajaan Aceh menolak dengan keras untuk mengakui kedaulatan Belanda.
Inilah awal pertempuran terjadi antara pasukan Aceh dengan sebagian tentara Belanda yang mulai mendarat di Aceh.Dalam pertempuran itu pasukan Aceh mundur ke daerah Masjid Raya.
Pasukan Aceh tidak semata-mata mundur tapi juga sempat memberi perlawanan sehingga Mayor Jenderal Kohler sendiri tewas. Dengan demikian, Masjid Raya sanggup direbut kembali oleh pasukan Aceh.
Daerah-daerah di daerah Aceh bangun melaksanakan perlawanan. Para pemimpin Aceh yang diperhitungkan Belanda yaitu Cut Nya’Din, Teuku Umar, Tengku Cik Di Tiro, Teuku Ci’ Bugas, Habib Abdurrahman, dan Cut Mutia.
Belanda mencoba menerapkan siasat konsentrasi stelsel yaitu sistem garis pemusatan di
mana Belanda memusatkan pasukannya di benteng-benteng sekitar kota termasuk Kutaraja. Belanda tidak melakukan serangan ke daerah-daerah tetapi cukup mempertahankan kota dan pos-pos sekitarnya. Namun, siasat ini tetap tidak berhasil mematahkan perlawanan rakyat Aceh.
Kegagalan-kegagalan tersebut menimbulkan Belanda berpikir keras untuk menemukan siasat baru. Untuk itu, Belanda memerintahkan Dr. Snouck Hurgronje yang paham perihal agama Islam untuk mengadakan penelitian perihal kehidupan masyarakat Aceh. Dr. Snouck Hurgronje memberi saran dan masukan kepada pemerintah Hindia Belanda mengenai hasil penyelidikannya terhadap masyarakat Aceh yang ditulis dengan judul De Atjehers.
Berdasarkan kesimpulan Dr. Snouck Hurgronje pemerintah Hindia Belanda memperoleh petunjuk bahwa untuk menaklukkan Aceh harus dengan siasat kekerasan.
Pada tahun 1899, Belanda mulai menerapkan siasat kekerasan dengan mengadakan serangan
besar-besaran ke daerah-daerah pedalaman. Serangan-serangan tersebut dipimpin oleh van Heutz. Tanpa mengenal peri- kemanusiaan, pasukan Belanda membinasakan semua penduduk daerah yang menjadi targetnya.
Satu per satu pemimpin para pemimpin perlawanan rakyat Aceh mengalah dan terbunuh. Dalam pertempuran yang terjadi di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Jatuhnya Benteng Kuto Reh pada tahun 1904, memaksa Aceh harus menandatangani Plakat pendek atau Perjanjian Singkat (Korte Verklaring).
Biar pun secara resmi pemerintah Hindia Belanda menyatakan Perang Aceh berakhir pada tahun 1904, dalam kenyataannya tidak. Perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung hingga tahun 1912. Bahkan di beberapa daerah tertentu di Aceh masih muncul perlawanan hingga menjelang Perang Dunia II tahun 1939.
8. Perang Tapanuli (1878 – 1907)
Pada tahun 1878 Belanda mulai dengan gerakan militernya menyerang daerah Tapanuli, sehingga meletus Perang Tapanuli dari tahun 1878 hingga tahun 1907.
Sebab-sebab terjadinya Perang Batak atau Perang Tapanuli.
1) Raja Si Singamangaraja XII menentang dan menolak daerah kekuasaannya di Tapanuli Selatan dikuasai Belanda.
2) Belanda ingin mewujudkan Pax Netherlandica (menguasai seluruh Hindia Belanda).
Pada masa pemerintahan Si Singamangaraja XII, kekuasaan kolonial Belanda mulai memasuki daerah Tapanuli. Belanda ingin mewujudkan Pax Netherlandica yang dilakukan dengan berlindung di balik aktivitas zending yang menyebarkan agama Kristen.
Belanda menempatkan pasukannya di Tarutung dengan dalih melindungi penyebar agama Kristen. Si Singamangaraja XII tidak menentang usaha-usaha menyebarkan agama Nasrani tetapi ia tidak sanggup mendapatkan tertanamnya kekuasaan Belanda di wilayah kekuasaannya.
Menghadapi ekspansi wilayah pendudukan yang dilakukan oleh Belanda, pada bulan Februari 1878 Si Singamangaraja XII melancarkan serangan terhadap pos pasukan Belanda di Bahal
Batu, dekat Tarutung (Tapanuli Utara). Pertempuran merebak hingga ke daerah Buntur, Bahal Batu, Balige, Si Borang-Borang, dan Lumban Julu.
Dengan gigih rakyat setempat berjuang saling pundak membahu berlangsung hingga sekitar 7 tahun. Tetapi, lantaran kekurangan senjata pasukan Si Singamangaraja XII semakin usang semakin terdesak. Bahkan terpaksa ditinggalkan dan usaha dilanjutkan ke tempat lain.
Dalam keadaan yang lemah, Si Singamangaraja XII bersama putra-putra dan pengikutnya mengadakan perlawanan. Dalam perlawanan ini, Si Singamangaraja, dan seorang putrinya, Lapian serta dua putranya, Sultan Nagari dan Patuan Anggi, gugur. Dengan gugurnya Si Singamangaraja XII, maka seluruh daerah Batak jatuh ke tangan Belanda.
Sumber : Buku IPS untuk SMP/MTs Kelas VIII
Penulis : Sanusi Fattah Amin Hidayat Juli Waskito, Moh. Taukit Setyawan